Monday, March 31, 2008

Astana Giri Bangun

2 long weekend yang lalu aku berkesempatan untuk pergi ke Solo bersama keluarga suamiku. Salah satu tempat tujuan kami adalah makam mantan Presiden Soeharto: Astana Giribangun. Saudaraku kenal dengan salah satu juru kuncinya, so kita bisa masuk sampai ke depan makamnya.

Ternyata makamnya itu berupa sebuah joglo berukuran sekitar 10 x 10m. Joglo itu dikelilingi gebyok ukir-ukiran dari kayu yang berkualitas tinggi (kata penjaganya). Kami bergiliran masuk ke dalam joglo tersebut. Di sisi kanan sudah penuh terisi oleh 5 makam, yaitu makam dari kakaknya Ibu Tien, makam ayah dan ibunya Ibu Tien, makam Pak Harto, dan makam Ibu Tien. Makam Pak Harto belum diberi nisan, sedangkan makam lainnya sudah diberi gundukan nisan dari batu sejenis marmer. Makam baru boleh diberi nisan setelah 1000 hari dikubur. Pada nisan dituliskan nama masing-masing dan tanggal wafatnya – semuanya dalam bahasa Kromo Inggil. Di dekat makam ada tulisan: Dilarang Memotret. Tapi kami dengan santainya jeprat jepret sana sini, dan penjaganya juga tidak ada usaha sama sekali untuk melarang kami. Ya, Indonesia gitu loh….

Pada saat aku ke sana, beberapa hari yang lalu pas acara 40 hari peringatan meninggalnya Soeharto. Jadi masih ada acara tahlilan yang diselenggarakan di tempat itu.

Kabarnya, Astana giribangun ini sudah dibangun pada tahun 70-an. Untuk membangunnya diperlukan waktu selama 2 tahun. Setelah selesai dibangun, jenazah dari kakak, ayah, dan ibunya Ibu Tien dipindahkan ke situ.

Makam ini ternyata tidak seperti dugaanku, aku pikir ada di ruang terbuka, ternyata di Joglo yang tertutup sehingga bebas dari serangan panas dan hujan. Tapi tidak semewah dugaanku juga. Menurutku jauh lebih mewah dan sakral makamnya Sun Yat Sen di China. Di makam Sun Yat Sen itu kita bahkan ga boleh bicara sama sekali. Ya, but this is quite an experience for me lah…

2 comments:

Upi... said...

Pertanyaannya adalah...
Kenapa eh kenapa, tu kuburan baru boleh dikasih nisan setelah 1000 hari dimakamkan? mang kalo 999 hari kenapa?

Herlina Tanujaya said...

Hmmmm... kalo gw tau kenapa, tu alesan udah gw kasi tau di cerita itu, Upi..
Tapi kalo lo penasaran, cobalah bertanya pada teman-teman kita yang memegang teguh budaya Jawa.