Ingat iklan A-Mild yang ini:
- Ada seorang anak muda yang mau presentasi, terus seorang bapak-bapak melihat dia bergaya muda dan trendy. Dia yakin bahwa dengan gaya itu pasti si anak muda ini tidak akan dipercaya. So, dia memberikan pada anak muda ini stelan jasnya, kaca matanya, dan mendandani rambutnya jadi klimis ala engkong-engkong taon 40-an. Terus di akhir iklan ada tagline: yang muda, yang nggak dipercaya. Tanya kenapa?
- Atau yang satu ini. Seorang tour leader cewek yang masih muda sedang berada di bus beserta peserta tournya. Dia sedang akan menerangkan tentang apa yang ada di kanan dan kirinya, seperti lazimnya yang dilakukan tour leader. Tapi belum sampai dia mengucapkan sebuah kalimat, semua orang langsung pura-pura tidur. Begitu terus terjadi berkali-kali, sampai akhirnya dia menyerah dan meminta sopir bus menggantikan dia berbicara secara lip sync, sedangkan dia sendiri menyetirkan bus itu sambil berbicara. Saat melihat yang tampil di depan adalah seorang bapak-bapak yang sudah beruban, semua orang langsung mau memperhatikan, padahal yang ngomong adalah si cewe muda yang sekarang duduk di kursi sopir.
Berlebihan memang, tapi hebat juga cara A-Mild menangkap fenomena-fenomena yang terjadi di negara ini. Salah satunya ya itu, yang muda dianggap belum berpengalaman, sehingga orang jadi reluctant untuk mendengarkan apalagi menerima ide-ide dari orang muda.
Nah, jadi menurutku terlihat tua itu jauh lebih menguntungkan daripada terlihat muda. Bukankah demikian, teman-teman? Ya, memang di sisi mata uang yang lainnya seorang wanita muda atau seorang pria muda memang jauh lebih enak untuk dipandang dan disentuh. Tapi apa gunanya cuma dilihat tapi tidak didengarkan?
Sebenarnya hal ini terlintas - dan bahkan terpatri - di benakku karena aku adalah seorang trainer. Hal yang paling dibutuhkan oleh seorang trainer adalah didengarkan oleh para peserta training. Masalahnya, di usiaku yang hampir 28 tahun ini aku memiliki tampang seperti seorang fresh graduate. Itu kalau dilihat saat aku bekerja di kantor, karena saat ini minimal lulusan S1 lah yang akan diterima sebagai trainer. Tapi, kalau dilihat di luaran, misalnya seorang yang sama sekali belum mengenalku lalu melihatku untuk pertama kali, dia akan mengira aku adalah seorang anak SMA, atau mentok-mentok seorang mahasiswa tingkat awal yang sedang menuntut ilmu di sebuah universitas. Poor me....
Contoh kasusnya seperti ini. Saat aku baru pertama masuk sebagai trainer baru di perusahaanku ini (I was 27), dan di training-training pertamaku aku di-pairing dengan seorang trainer yang bernama Marina. Pada saat istirahat seorang peserta bertanya pada kami: "Bu Marina sama Mbak Herlina sudah makan belum?" Oh my God, betapa terpukulnya aku saat itu karena Marina itu 4 tahun lebih muda dari aku dan si peserta ini menyebutnya Ibu dan aku dipanggil Mbak!!
Kasus yang kedua yang juga membekas untukku adalah saat aku pergi ke Astana Giri Bangun bulan lalu. Pada saat itu kami diantar oleh seorang ibu yang bernama Bu Upik. Saat kami sedang makan durian bersama, tiba-tiba dia beramah-tamah padaku dan menanyakan: "Kuliah di mana, Dik? Eeee, atau masih SMA ya?" Duenggg! Duengggg! Duengggg!
Kejadian-kejadian seperti itu bukan cuma satu dua kali terjadi padaku. Bahkan berpuluh-puluh kali aku mendapati orang terkejut-kejut saat mengetahui bahwa aku sudah bersuami.
Kalau kita lihat di negara-negara lain - terutama di negara barat - orang lebih cepat terlihat tua. Misalnya saja kita bandingkan seorang gadis usia 18 tahun di Jakarta dan di Amerika (sorry ya perbandingannya antara kota dan negara). Gadis Jakarta akan terlihat seperti seorang anak SMP yang masih polos dan kekanak-kanakan, sedangkan gadis Amerika akan terlihat sangat dewasa selayaknya wanita Indonesia umur 30-an. Kalau menurutku penyebabnya adalah gadis Jakarta terbiasa terus dimanja dan bisa terus bergantung pada orang tuanya sampai kapanpun. Sedangkan gadis Amerika sudah harus bisa mandiri di umurnya yang ke-18 itu, dan bahkan sebagian sudah hidup terpisah dari orang tuanya. Dan juga tantangan dan persaingan hidup yang dihadapi di Amerika menurutku jauh lebih besar daripada di Indonesia.
Rasanya aku bukan termasuk orang yang malas, meskipun memang aku bukan tipe hardworker sejati. Tingkat stress yang kuhadapi juga bukan termasuk tingkat stress yang di bawah rata-rata. Tapi kenapa tampangku bisa begitu kekanak-kanakan ya?
Kalau beramai-ramai produk kosmetik dan sejenisnya menawarkan bagaimana supaya orang terlihat awet muda, sekarang aku justru mencari tahu bagaimana supaya terlihat tua. Apakah aku harus membuat wajahku keriput? Itupun bukan hal yang mudah karena tipe mukaku adalah tipe berminyak. Nah, any suggestions friends?
3 comments:
use eyeglasses, and wear make-up.
Pasti berhasil!
Dulu, gw sempet punya masalah kayak dirimu Her, pas awal2 masuk dunia kerja. Bukan krn muka sih, tp lebih krn tingkah laku n pembawaan gw yg kekanakan. Krn itulah gw bljr pake make-up, biar keliatan lbh mature...and somehow it did work!
Errmmm, good advise dan boleh dicoba tu pi.. Rasanya gw perlu ke Melawai untuk cari frame yang enteng karena selama ini gw ga pernah betah pake kacamata berlama-lama. Btw lo belajar make up di mana?
Frame yg enteng biasanya berbahan titanium n lensa sebaiknya dr plastik.
Gw belajar make-up awalnya didandanin temen. Trus, nyoba2 ndiri. Hasilnya...seperti yg biasa lo liat lah...
Sebenernya bermake-up tu menurut gw nggak susah kok. Gw jg ga bs tuh yg namanya ngebaurin warna eyeshadow dsb. Jd gw pake ala kadarnya aja.
Post a Comment