Sunday, July 13, 2008

Instant Generation


Istilah generasi instan pasti sudah sering kita dengar baik di media massa maupun di percakapan sehari-hari. Seringkali saat membicarakan tentang generasi instan, yang muncul adalah keluhan bahwa generasi sekarang kebanyakan adalah anak-anak manja yang kurang punya daya juang dan maunya segala sesuatu serba instan.


Pada saat aku kuliah tentang Marketing Management, salah satu kalimat yang sangat nyantol di benakku adalah pada saat belajar tentang customer value. Dosenku mengatakan bahwa 2 value yang paling dianggap berharga dan penting oleh 'global customer' (customer-customer jaman sekarang) adalah SPEED dan CONVENIENCE. Aku sepenuhnya setuju dengan pernyataan itu walaupun sampai sekarang aku tidak tau apakah itu adalah pernyataan pribadi dosenku atau pernyataan seorang ahli yang didukung data dan fakta.


Customer saat ini menginginkan produk dan layanan yang serba cepat dan nyaman untuknya. Produsen yang menawarkan kedua value tersebut dengan lebih tinggi, dialah yang akan mendapatkan favor dari customer dan akhirnya bisa memenangi persaingan.


Contoh layanan yang mengandung unsur speed dan convenience misalnya: delivery service yang sekarang tidak hanya terbatas untuk makanan saja, tapi segala macam barang bisa didelivery. Contoh lain yaitu pemasaran via website. Untuk memesan suatu barang, customer tinggal duduk di depan komputer dan melakukan beberapa kali klik, lalu tidak lama kemudian datanglah pesanannya. Contoh lain lagi dalam hal mengirim pesan, rasanya metode mengirim pesan telah ber-evolusi selama berabad-abad supaya pesan bisa terkirim dengan lebih cepat dan proses pengirimannya nyaman bagi pengirim pesan (lagi-lagi 'speed' dan 'convenience'). Dulu untuk mengirim pesan orang harus berjalan atau naik kuda berjam-jam bahkan berhari-hari untuk bisa sampai ke tujuan pesan tersebut. Atau orang harus menunggu berlama-lama pesannya dikirimkan lewat sungai (message in a bottle) atau dengan perantara burung merpati yang memakan waktu cukup lama dan belum tentu sampai ke orang yang dituju. Saat masuk ke era bisnis, mulai ada post service yang bisa mengirimkan pesan kita dalam waktu paling cepat 1 hari. Di awal era teknologi mulai berkembang yang namanya telegraph dan telephone. Nah, lihatlah sekarang saat teknologi-teknologi canggih mulai merajai dunia ini, kita bisa mengirim pesan dengan berbagai cara yang praktis dan cepat, misalnya dengan mengirimkan SMS, email, dan telephone dengan HP atau VoIP. Semua pesan yang kita sampaikan bisa tersampaikan dalam hitungan detik dan dengan usaha yang sangat minim.


Kalau kita kaji lagi, sebetulnya yang namanya hal-hal yang bersifat instan itu sangat banyak keuntungannya bagi kita. Lihatlah bisnis telekomunikasi yang berkembang seperti jamur di musim hujan. Semua orang ingin punya alat komunikasi yang namanya Ha Pe. Dalam hal bisnis, untuk meeting dengan kolega di luar negeri, tinggal gunakan saja fasilitas tele-conference yang sangat praktis. Untuk memasarkan produk kita, buat saja website atau iklankan produk kita di internet dan seluruh dunia bisa melihatnya. Jadi sisi positif dari 'instanity' sebetulnya sangat banyak.


Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa sisi negatif dari hal-hal yang sifatnya instan pun sangat banyak. Hal-hal yang memiliki value speed dan convenience ada di sekitar kita. Misalnya untuk menyalakan TV atau AC kita tinggal pencet remote control, mau kirim pesan tinggal gerakkan jempol dengan effort yang sangat minim, mau minum kopi, teh, atau susu, semuanya disediakan dalam bentuk instan. Mau tidak mau hal-hal tersebut membentuk kebiasaan generasi sekarang menjadi lebih malas bergerak dan terbiasa dengan hal-hal yang 'langsung jadi'. Dengan kebiasaan seperti itu, tidak heran kalau daya juang mereka ('mereka'?? gue juga kalee.. :)) jadi lemah. Mereka jadi gampang menyerah dan kurang tough (ulet) baik dalam belajar, bekerja, maupun kehidupan sehari-hari.


Di Indonesia ini, budaya serba instan didukung lagi oleh keluarga-keluarga yang memanjakan anak-anaknya. Dengan dalih bahwa para orang tua tidak ingin anaknya mengalami 'kesusahan' yang mereka alami dulu, maka mereka menyediakan semua fasilitas yang secara tidak langsung malah menjadi 'racun' untuk anaknya. Misalnya adanya suster dan pembantu yang secara full time memang tersedia untuk anak tersebut. Selain itu, tidak seperti di luar negeri dimana dari masa kuliah seorang anak sudah terbiasa hidup mandiri dan terpisah dari orang tuanya. Kalau di Indonesia, bahkan sampai menikah pun seringkali si anak masih dibiayai oleh orang tuanya, dibelikan rumah, mobil, dan semua fasilitas lainnya. Malu-maluinnya lagi, saat si anak sudah mulai bereproduksi dan menghasilkan keturunan, biaya sekolah si cucu itu pun ditanggung oleh kakek atau neneknya. OMG, no wonder di kantor pun banyak orang mengeluhkan bahwa karyawan-karyawan baru mereka manja-manja dan daya juangnya sangat lemah. Bahkan seorang direktur yang aku kenal, pada saat dia merekrut dia lebih suka merekrut orang-orang 'susah' karena orang-orang ini punya daya juang yang tinggi untuk berpindah dari kesusahannya itu menuju kepada kondisi yang lebih baik.
Ada ungkapan yang berkata "the enemy of a great life, is a good life". Kalau tidak salah ungkapan ini dari Andrie Wongso. Generasi sekarang yang sudah mengalami enaknya 'good life' dengan fasilitas yang serba instan di sekelilingnya, akhirnya menjadi susah untuk mencapai 'great life' karena instanity itu menciptakan comfort zone dan contentment (merasa sudah puas).
Nah, hal ini menjadi tanggung jawab para orang tua untuk bisa mendidik anaknya agar dalam lingkungan yang menyediakan hal-hal yang serba instan, dia tetap bisa menjaga anaknya supaya tidak memiliki mental 'instan' juga. Mungkin kita bisa belajar dari 'si super kaya' Donald Trump yang bisa mendidik anaknya sehingga anaknya tidak manja dan tetap punya daya juang tinggi seperti bapaknya. Salah satu kunci sukses Donald Trump dalam mendidik anaknya yaitu dia tidak pernah mengatakan bahwa segala yang dimiliki olehnya adalah milik anaknya juga. Jadi anak-anaknya itu dikondisikan seolah-olah mereka numpang di rumah orang lain dan meminjam fasilitas dari orang lain. Kemewahan yang dimiliki oleh Mr.Trump itu adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri, dan kalau anaknya itu menginginkan kemewahan yang sama menjadi milik mereka, ya mereka harus kerja keras juga. Interesting thought kan...

No comments: