Thursday, September 25, 2008

Too Big To Fail

Kata-kata "Too Big to Fail" pertama kali kudengar saat aku di-interview di Citibank dalam kondisi perusahaan itu merugi parah. Pada kondisi itu semua karyawan percaya bahwa Citi Group itu too big to fail. Ya iya lah, perusahaan terbesar di dunia gitu loh.

Kata-kata itu pun kudengar lagi saat induk perusahaanku, American International Group, di New York dinyatakan nyaris bangkrut. Tanggal 16 September kondisi AIG masih gonjang ganjing, karena kondisi liquiditasnya sudah parah dan belum ada kepastian siapa yang akan mensupply modal untuk perusahaan yang sangat besar ini. Kontan saja seluruh karyawan AIG, customer AIG, dan semua yang memiliki kaitan dekat dengan perusahaan ini dilanda kepanikan. Di Singapore banyak customer AIG (termasuk anak-anak perusahaannya, misalnya: AIA dan AIU) yang memutuskan untuk surrender polisnya, karena sudah tidak percaya bahwa AIG bisa bertahan. Di Indonesia pun cukup banyak customer yang complain dan sudah berniat untuk surrender polisnya. Aku adalah salah satu korban kepanikan ini karena besok paginya, tanggal 17 September, aku harus mengajar di BCA Prioritas tentang Selling Tips produk AIG. Aku tahu bahwa aku akan dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar issue bahwa AIG akan bangkrut.

Thanks God, pagi itu aku browsing via gprs di Communicator-ku dan menemukan bahwa The FED sudah memutuskan untuk memberi bantuan liquiditas untuk AIG sebesar USD 85 juta. Setidaknya sampai 2 tahun mendatang AIG "terselamatkan", dan jika setelah 2 tahun tidak bisa membayar kewajibannya, seburuk-buruknya AIG akan menjadi BUMN-nya pemerintah Amerika. Siapa tahu gajiku bisa jadi dalam bentuk USD! :P

Management dari AIG Life Indonesia berusaha menenangkan semua karyawannya dan distribution channelnya. Salah satunya dengan mengatakan bahwa hal positif yang diambil dari sini adalah memberi tahu pada semua orang bahwa AIG adalah perusahaan yang sangat besar, sehingga pemerintah pun tidak akan membiarkannya bangkrut.

Aku menemukan hal lain dibalik sekedar "terlalu besar untuk bangkrut". Jika AIG bangkrut, kreditor yang bergantung pada AIG, karyawan-karyawan, bank-bank, dll akan sangat terpengaruh. Kebangkrutan AIG pasti memiliki dampak yang sangat besar pada kondisi perekonomian di US khususnya dan di dunia ini pada umumnya. Jadi bukan hanya perusahaannya yang sangat besar, tapi ada ketergantungan dari perusahaan dan individu-individu yang sangat banyak terhadap perusahaan tersebut.

Coba pikirkan perusahaan di Jepang yang punya jaringan kekeluargaan yang sangat luas dengan perusahaan lain yang menjadi suppliernya maupun customernya. Aku yakin jaringan ini yang menyebabkan dampak pada satu perusahaan akan berdampak pula secara signifikan pada perusahaan lain di jaringan itu. Hal inilah sebetulnya yang bisa membuat sebuah perusahaan tidak akan begitu saja dibiarkan bangkrut.

Tapi sebetulnya kejatuhan dari perusahaan-perusahaan besar di Amerika memberi tahu kita bahwa tidak ada perusahaan yang too big to fail. AIG yang begitu besar, sahamnya bisa melorot 90% dalam waktu yang sangat singkat, dan tiba-tiba langsung di ambang kebangkrutan. Apapun bisa terjadi dan perusahaan sebesar apapun bisa bangkrut dalam waktu yang singkat. Dalam kondisi ekonomi yang penuh kejutan seperti saat-saat ini, menurutku perusahaan yang besar malah punya ancaman yang besar pula untuk menderita kerugian.

Saat dimana ekonomi sedang down menurutku membuat kita jadi bisa introspeksi diri. Dampak positifnya, kita jadi lebih kenal tentang kondisi perekonomian dunia, dan juga bisa lebih paham tetang profil risiko kita. Saat kondisi pasar bagus, seseorang cenderung menilai dirinya sebagai risk taker, karena jika diminta untuk memilih instrumen investasi, pasti kebanyakan orang memilih saham dibanding instrumen yang lainnya. Nah, baru pas kondisi ekonomi slow down, atau bahkan terpuruk seperti saat ini, orang bisa mengenali profil risikonya yang sebenarnya.

2 comments:

Upi... said...

Studju Her! Some people just assumed theirself as a risk taker because they can take the risk at stocks. Padahal, itu pas kondisi lagi bullish. Nah, pas bearish gini langsung deh pada kelimpungan sendiri mau narik duitnya. Nah, keliatan deh tu siapa yang risk taker beneran dan siapa yang seakan2 risk taker. Tapi, kalo menurut gue, itu lebih nunjukin mental seseorang...mental investor yang orientasinya jangka panjang, ato mental spekulan yang orientasi jangka pendek. Demikian//

Anonymous said...

Halo Herlin, topik yg kamu tulis bagus-bagus lho. Salam hangat.